KOTAKU, SANGATTA-Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Kutim) mendapat guyuran anggaran yang cukup fantastis selama dua tahun belakangan. Sumber dana itu berasal dari anggaran bagi hasil royalti sektor pertambangan batubara dan migas serta perkebunan.
Sumber-sumber besar ini menjadi tonggak utama pembiayaan pembangunan daerah.
Sejak setahun lalu, Kutim terus mengalami peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tahun 2023, APBD Kutim mencapai Rp9,7 triliun sedangkan tahun 2024, APBB murni sudah mencapai Rp9,1 triliun dan diproyeksikan anggaran tersebut bisa bertambah saat APBD perubahan.
Akan tetapi, dibalik besarnya anggaran yang dimiliki ternyata menyisakan persoalan yang hingga saat ini masih menjadi pekerjaan rumah yang belum bisa diatasi, yakni terkait lemahnya penyerapan anggaran. Pemkab Kutim dianggap tidak mampu menyerap anggaran yang digelontorkan,
“Sehingga berdampak adanya Sisa Lebih Anggaran (Silpa) yang tidak bisa dimanfaatkan untuk pembangunan,” ungkap Ketua Komisi D DPRD Kutim Yan.
Tahun 2022 lalu, pelaksanaan anggaran Pemkab Kutim mengalami Silpa Rp1,5 triliun, kemudian tahun 2023, kembali mengalami Silpa yang mencapai Rp1,7 triliun.
“Menurut saya, hal seperti ini menjadi catatan DPRD Kutim dan meminta agar pemerintah segera melakukan evaluasi dalam setiap proses pelaksanaan pembangunan yang kerjakan,” pintanya.
Yan juga menyayangkan bahwa kemungkinan besar hal ini akan terulang kembali tahun 2024, karena sampai saat ini pekerjaan yang menggunakan anggaran murni juga belum semua berjalan. “Padahal sudah mau masuk pertengahan tahun,” jelas dia.
Namun, di sisi lain, dia juga tidak sepakat apabila rendahnya proses penyerapan anggaran, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Mengingat, selama ini, alokasi anggaran yang berasal dari dana bagi hasil pemerintah pusat ini, diberikan saat proses pembahasan anggaran perubahan.
“Saya rasa harus belajar bersama atas kejadian ini. Harus evaluasi. Jangan sampai terus berulang dan harus segera mencari solusi untuk mengantisipasinya.
Secepatnya pemerintah mengambil langkah tegas melihat persoalan ini. Kami tidak ingin ada Silpa karena tentunya berdampak kurangnya pembangunan,” tutup Yan. (advertorial)